Selasa, 24 Februari 2009

perkumpulan bku

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dan Perkumpulan Qbar

Indonesia merupakan negara yang kaya atas sumber daya alam, salah satunya hutan. Hutan sebagai suatu kesatuan Ekosistem yang didominasi oleh kayu menampung berbagai macam kekayaan alam. Hutan juga berfungsi sebagai penyeimbang keberlanjutan lingkungan dan kelestarian alam. Disisi lain hampir 60 % masyarakat Indonesia kehidupannya bergantung pada hutan.


Hutan sebagai kesatuan fungsi ekosistem yang berada diatas ruang agraria, tidak terlepas dari konsepsi umum agararia, terutama yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah. Salah satu hak atas tanah adalah hak ulayat1. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hutan adat merupakan kesatuan ekosistem yang didominasi oleh kayu yang berada pada ruang ulayat, yang pengelolahan dan pemanfaatannya berdasarkan hukum adat yang hidup pada masyarakat itu sendiri. UU no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagai landasan yuridis kebijakan kehutanan ternyata masih menganut paradigma pengelolahan hutan yang masih di dominasi oleh negara (State-dominated forest-management systems), tidak mengarah pada pengelolahan hutan berbasis masyarakat (Community based forest management). Sumatera barat yang dikenal dengan filosofi Adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah, melangkah maju dalam menangkap paradigma kearifan adat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Nilai-nilai adat minangkabau sebagai dasar filosofi tentunya juga berlaku pada ruang pengelolahan sumber daya alam umumnya dan hutan pada khususnya.

Berbicara konsep pengelolahan hutan berbasis masyarakat di sumatera barat minus kepulauan mentawai, tidak terlepas dari Identitas dan entitas nagari, sesuai dengan filosofi minangkabau; ulayat salingka kaum, adat salingka nagari. Dari makna filosofi adat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengelolahan sumber daya alam oleh masyarakat adat minangkabau antara keberadaan ulayat sebagai objek dan nagari sebagai sebagai subjek tidak bisa dipisahkan. Ulayat bagi masyarakat minang kabau bukan hanya bernilai secara ekonomis, namun juga bernilai sosial, budaya dan ekologis. Penguasaan kolektif terhadap ulayat dengan menggunakan pewarisan garis keturunan matrilineal, menunjukan pendistribusian sumber daya alam yang adil, berperspektif gender dan suistineable. Selain itu makna nagari adalah sebuah identitas dan entitas yang outonom, dimana pengaturan hukum adat terhadap sumber-sumber agraria umumnya dan hutan khususnya mempunyai karakteristik tersendiri dari masing-masing nagari. Uniknya walaupun beragam pengaturan hutan oleh nagari-nagari, ternyata mempunyai benang merah sistem hukum adat, yang disebut kelarasan. Kelarasan muncul dari proses sejarah, baik yang bersifat teritorial maupun geneologis. Minangkabau terbagi atas tiga luhak2 atau dikenal dengan luhak nan tigo, (Luhak tanah datar/luhak tuo, luhak agam, dan luhak lima puluh kota/luhak nan bungsu) dan daerah rantau. Daerah luhak ini didasari oleh tiga orang nenek moyang Minangkabau yaitu; Dt. Katamangunan di luhak Agam, Dt. Parpatiah nan sabatang di luhak tanah Datar dan Dt. Sri maharaja Diraja Nan Banaga-naga di Luhak Lima Puluh Kota.

Tidak ada komentar: